Jakarta – SuaraNusantara
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo berniat untuk meminta fatwa ke Mahkamah Agung (MA) terkait keputusan pemerintah yang kembali mengaktifkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta, siang ini.
Menurutnya, pemerintah dan DPR berbeda menafsirkan Pasal 83 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana kepala daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara.
Ia mengaku siap tunduk apa pun pendapat MA terkait status Ahok yang sudah menyandang status terdakwa. Termasuk siap mengoreksi keputusan pemerintah jika pandangan MA nantinya menilai pengaktifan kembali mantan Bupati Belitung Timur itu tidak tepat.
“Ya pasti dong apa pun (kami ikuti red),” ujar Tjahjo usai menghadiri Rakorsus di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (14/2/2017).
Tjahjo mengungkapkan, ia sendiri yang akan mendatangi kantor MA. Berkas permohonan pandangan pun sudah ia siapkan sejak Senin (13/2/2017) kemarin.
“Iya, ini mau kesana (MA), materi berkas sudah saya teken kemarin siang,” beber Tjahjo.
Meski begitu, politisi senior PDI Perjuangan ini yakin keputusannya yang tidak menonaktifkan sementara Ahok sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada. Namun, ia menghargai pandangan pihak lain yang berseberangan dengan pendapatnya tersebut. Karena itu pula, lebih baik pihaknya meminta pandangan dari MA.
“Apa yang kami putuskan juga itu sudah dari pandangan hukum Kemendagri, itu sudah cukup, tapi kami menghargai maka kami lebih enak minta ke MA, minta pendapat hukumnya, karena menurut kami ada tafsir-tafsir yang ini, saya harus adil,” papar Tjahjo.
Diakui Tjahjo, Kemendagri tidak mau semena-mena berhentikan sementara kepala daerah karena berstatus terdakwa. Pihaknya akan terlebih dahulu mengkaji sekaligus mencari keputusan yang pas sesuai UU.
Sebelumnya lanjut dia, ada kepala daerah yang ia tidak berhentikan sementara meski berstatus terdakwa, karena hanya diancam dua tahun penjara dan juga tidak ditahan. Ia menyebut, kasus tersebut juga serupa dengan kasus pidana Ahok.
“Karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun. Kasus DKI alternatif, makanya kami lebih enak, ada masukan DPR, para pakar, minta pendapat MA,” tukas Tjahjo. (Has)