Jakarta-SuaraNusantara
Trenggiling (Manis javanica) merupakan hewan yang dilindungi karena populasinya terancam punah setelah lebih dari satu juta ekor diambil dari habitatnya dalam kurun waktu sedikitnya 10 tahun terakhir. Namun di Kota Gunungsitoli, Kepulauan Nias, Sumatera Utara, ternyata daging hewan ini diperdagangkan secara bebas dalam bentuk masakan siap saji.
Sedikitnya ada 10 warung/rumah makan di Kota Gunungsitoli yang menyajikan hidangan dari daging trenggiling. Biasanya daging hewan pemakan semut ini diolah dalam bentuk menu rica-rica.
Harga satu porsi trenggiling rica-rica cukup terjangkau kantong warga, hanya Rp. 25 ribu per porsi. Cukup murah untuk sebuah menu hidangan eksotis.
Selain trenggiling, warung-warung makan tersebut biasanya juga menyajikan hidangan lain, seperti babi, anjing, ular, rusa dan biawak yang diolah dalam berbagai jenis masakan.
Seorang pemilik warung makan yang keberatan disebutkan namanya mengaku sebagian besar konsumennya tertarik mencicipi trenggiling karena penasaran dengan rasa daging hewan tersebut. Selebihnya lantaran percaya bahwa daging trenggiling memiliki khasiat tertentu.
Soal rasa memang jangan ditanya. Gurihnya bumbu rica-rica pedas berpadu dengan daging trenggiling yang rasanya mirip dengan daging bebek, membuat penikmat kuliner satu ini tak bisa berpaling ke lain hati.
“Biasanya kalau sudah mencoba sekali, bakal ketagihan. Jadi yang makan di sini rata-rata pelanggan tetap,” ujar pemilik warung tersebut, Senin (18/9/2017).
Namun dia mengaku belakangan ini semakin sulit mendapat pasokan daging trenggiling. Menyusutnya jumlah trenggiling di alam bebas membuat pencari trenggiling semakin sulit mendapatkan hewan yang habitatnya banyak ditemukan di Asia dan Afrika ini.
“Makanya saya juga jual hidangan dari ular dan biawak. Rasa dagingnya (ular dan biawak) juga enak seperti daging ayam dan khasiatnya tak kalah hebat,” katanya.
Bagaikan seorang tabib, pria berusia sekitar 40-an tahun itu kemudian menuturkan khasiat dari daging hewan yang dijualnya.
“Daging trenggiling bisa menyembuhkan sakit jantung dan paru-paru. Kalau daging ular dan biawak khasiatnya untuk penyakit kulit, obat asma, dan kencing manis. Untuk urusan ranjang, daging trenggiling,ular dan biawak, semuanya punya kemampuan mendongkrak stamina,” katanya.
Namun dibanding trenggiling, ular dan biawak diyakini lebih berkhasiat sebagai obat kuat. “Kalau makan ular dan biawak rasanya panas. Pelanggan bisa langsung keringatan kalau makan itu,” kata dia.
Meski terbuka soal rasa dan khasiat, namun dia tidak mau menceritakan berapa porsi daging trenggiling, ular dan biawak yang laku terjual dalam sehari. Dia juga keberatan ketika ditanya soal omzet penjualan.
“Yah, namanya dagang, kadang habis banyak, kadang cuma laku sedikit, biasalah. Kalau kayak biawak itu kan, sehari bisa laku 1 kg saja juga sudah hebat kok. Kalau keuntungan sih yang penting cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Ketertutupan pemilik warung semakin menjadi-jadi ketika ditanya darimana dia mendapatkan pasokan daging trenggiling. Dia mengaku tahu kalau trenggiling termasuk hewan yang dilindungi, tetapi karena selama ini tidak ada yang melarangnya berjualan, maka dia tidak merasa bersalah.
“Adalah yang antar (daging trenggiling). Saya tahu itu hewan dilindungi, tapi selama ini saya jualan nggak ada yang melarang kan?” katanya sambil mengaku tidak keberatan bila suatu hari dirinya dilarang berjualan masakan berbahan baku daging trenggiling, karena dia masih bisa berjualan kuliner ular dan biawak.
Penulis: Cipto